Opini oleh : Sri Rajasa Chandra M.BA
Riuhnya tarik menarik soal susunan Kabinet Presiden Prabowo, mengingat koalisi gemuk pasangan Presiden/Wapres Prabowo/Gibran, termasuk hadirnya pendatang baru paska keputusan MK, tidak tertutup kemungkinan akan dipengaruhi oleh politik transaksional maupun politik balas budi. Fenomena politik transaksional dalam kehidupan politik di negeri ini yang kental dengan budaya “euweh pakeweuh”, kerapkali mengabaikan nilai profesionalisme dalam menempatkan seseorang pada susunan kabinet, sehingga pada gilirannya akan menjadi beban Presiden dalam mengemban tugas-tugas konstitusional.
Dihadapkan pada fenomena politik transaksional, tentunya hal tersebut tidak lagi berlaku bagi penunjukan calon Kepala Badan Intelijen Negara. Presiden harus lebih selektif dalam hal ini, mengingat Badan Intelijen Negara sebagaimana diamanatkan oleh Undang undang Nomor 17 Tahun 2011 adalah koordinator penyelenggaraan intelijen negara, dengan tugas pokok dan fungsi utamanya mengawal dan menjaga kepentingan maupun keamanan nasional dari setiap potensi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang semakin kompleks, modern dan terstruktur, dalam rangka tetap utuhnya kedaulatan negara dan marwah hak-hak asasi negara. Disamping itu Badan Intelijen Negara yang akrab dengan stigma “mata dan telinga negara”, dituntut untuk memainkan peran lebih dari sekedar mata dan telinga negara, tetapi juga menjadi penjuru dalam menentukan arah haluan pembangunan nasional, sehingga tidak terjadi deviasi terhadap pencapaian tujuan nasional.
Guna membangun Badan Intelijen Negara yang berkualitas, berdedikasi dan memiliki integritas, tentunya harus dinakhodai oleh sosok pemimpin dengan standar kriteria yang tinggi dan kedalaman ilmu yang terukur untuk mengelola ranah kegiatan dalam diam. Oleh sebab itu, sesuai dengan kata intelijen yang bermakna kecerdasan, maka tuntutan kriteria “smart” dalam sosok pimpinan Badan Intelijen Negara, harus meliputi Intelligence Quotient, Intellectual Intelligence, Emotional Intelligence.
Menghadapi derasnya laju perkembangan global yang semakin sulit diprediksi, dengan potensi ancaman terjadinya konflik berdimensi “perang semesta”, Badan Intelijen Negara dituntut mampu memainkan peran “Intelijen Diplomasi” di fora internasional, dalam rangka memposisikan Indonesia tidak melulu sebagai objek kekuatan besar dunia, tapi mampu memberi sumbangsih problem solving bagi terwujudnya tata dunia berbasis kesetaraan dalam pergaulan antar bangsa.
Mencermati tugas dan fungsi Badan Intelijen Negara yang memiliki posisi sentral dalam kelangsungan kehidupan berbangsa bernegara, sudah barang tentu menjadi tanggung jawab Presiden untuk memilih calon Kepala Badan Intelijen Negara, dengan pertimbangan cermat dan terukur, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik praktis, apalagi oleh kepentingan individu semata.
Kepala Badan Intelijen Negara harus memiliki komitmen “bekerja dalam diam, tanpa berharap puji dan balas budi, setia dan tepati janji pada Ibu Pertiwi, demi kehormatan negeri”.
Penulis adalah Pemerhati Intelijen