Sinyalemen ini disampaikan Wakil Gubernur Aceh periode 2007-2012 ini, Rabu (16/8/2023), dalam rangka refleksi peringatan 18 Tahun Aceh Damai sejak ditandatanganinya MoU Helsinki pada 2005.
Seperti diketahui, awal masa transisi paling berisiko dan sensitif mengisi damai Aceh dapat dilakukan dengan sangat baik pada masa periode pertama pemerintahan Aceh di bawah kepemimpinan Irwandi Yusuf – Muhammad Nazar.
Pasangan ini saat itu, meskipun tidak memiliki jumlah dana APBA yang sangat besar tetapi berhasil membuat berbagai program inovatif pembangunan yang langsung menyentuh rakyat.
Temasuk korban konflik, mantan anggota GAM, kaum dhuafa bahkan hingga pembinaan dunia usaha dan kerjasama internasional.
Sayangnya setelah kedua tokoh itu mengakhiri jabatan di Pemerintahan Aceh pada awal Februari 2012, para pemimpin yang menggantikan mereka pada periode berikutnya tidak membuat program strategis dan inovatif dalam mengisi perdamaian.
Bahkan berbagai program pembangunan masa Irwandi – Nazar ada yang dihilangkan dan dikurangi padahal jumlah dana APBA berkali lipat lebih besar mulai 2012.
“Kita menginginkan perdamaian terus berlanjut dan itu persyaratan mutlak suatu pembangunan tanpa terganggu.Tetapi tolong diingat, bahwa bukan perang saja yang ganas dan memakan korban, namun damai yang dihasilkan dari negosiasi yang rumit juga ada ganasnya,” Nazar mengingatkan.
Calon Gubernur Aceh periode 2024-2029 yang diusung Partai SIRA tersebut menerangkan, sejak awal proses perdamaian dimulai pada akhir 1999 sudah terdapat berbagai pihak yang tidak setuju baik dari kalangan unit-unit pemerintahan pusat maupun beberapa orang yang telah terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Menurutnya, hal tersebut wajar terjadi, karena natur dari suatu proses negosiasi politik bercampur latar belakang konflik kekerasan plus keinginan-keinginan yang saling berbeda memang seperti itu.
Tidak mungkin secara total dan utuh dapat menyatukan kesepakatan. Karena itu Nazar mengingatkan, agar pemerintahan daerah di Aceh maupun pusat tidak boleh lalai. Aceh harus diperhatikan lebih serius, tidak cukup sekedar dana otonomi khusus.
Bahkan jumlah dana otonomi khusus harus segera ditingkatkan kembali persentasenya dan diawasi ketat pemanfaatannya.
“Konflik dan damai itu sama-sama ada ganasnya, karena dapat dimanfaatkan oleh orang-orang dan kelompok-kelompok yang ingin untung buat mereka semata. Jadi jangan dikira situasi damai Aceh sekarang ini telah baik-baik saja.
Keadaan damai di Aceh sekarang seperti api dalam sekam karena berbagai faktor, termasuk kelemahan dalam transformasi konflik ke politik damai yang tidak berjalan baik, tidak berkualitas bahkan sering diganggu dengan isu -isu politik nasional,” lanjutnya.
Tokoh multi talenta yang memimpin Dewan Presidium Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA) sejak 1999 itu juga mengusulkan agar pemerintah daerah harus menyelesaikan sejumlah isu yang masih terkait resolusi konflik Aceh, khususnya yang ada dalam MoU Helsinki. Juga melaksanakan UUPA secara utuh.
Sebenarnya, tugas pemerintahan Aceh dan dapat dibantu pusat adalah termasuk melanjutkan apa yang telah dilakukan pada masa Pemerintahan Aceh periode 2007-2012 terkait bagaimana mengisi perdamaian.
Tentu ditambah dengan berbagai program lain. Sebab, masa lima tahun pertama pada 2007-2012 itu adalah masa-masa sangat sensitif dan penuh risiko.
“Di satu sisi harus menumbuhkan ideologi sosial perdamaian tetapi di saat yang sama juga harus membangun Aceh sesuai jumlah dana yang ada, yang tidak sebanyak jumlah dana pada masa-masa pemerintahan Aceh periode 2012 hingga sekarang,” jelas Nazar.
Intinya, lanjut Nazar lagi, dengan kondisi ketersediaan sosial media yang beragam dan menjamur serta tak mengenal jarak, kenyataan perdamaian Aceh dan apa yang ada di dalamnya juga dapat dengan mudah disebarkan kemanapun.
Bukan itu saja, ideologi dan provokasi apapun juga dapat ditularkan dengan memanfaatkan kelemahan yang ada pada diri pemerintahan pusat dan daerah.( Tim).